Penganiayaan terhadap umat Kristen di seluruh dunia dilaporkan memburuk selama pandemi virus corona, kata sebuah laporan yang dirilis oleh Aid to the Church in Need International (ACN).
“Dampak menghancurkan dari COVID-19 yang belum pernah terjadi sebelumnya di seluruh dunia… memiliki pengaruh langsung pada tren mengenai penahanan yang tidak adil,” kata kelompok itu dalam sebuah laporan berjudul Set Your Captors Free yang dirilis pada 25 November.
Meskipun insiden penangkapan oleh negara terhadap orang-orang Kristen sangat rendah pada minggu-minggu awal pandemi, laporan itu mencatat bahwa penganiayaan meningkat tajam ketika virus corona sudah menyebar.
“Tampaknya, pada awal krisis, rezim otoriter, dengan rekam jejak penindasan terhadap praktik keagamaan, melonggarkan tindakan keras terhadap kelompok-kelompok agama tidak resmi,’” tulis laporan itu.
Namun laporan itu menambahkan bahwa itu “bukan karena pilihan, tetapi karena adanya kebutuhan untuk memprioritaskan tanggapan darurat virus corona.”
Pada April 2020, Amerika Serikat menyerukan pembebasan tahanan politik di negara-negara seperti Myanmar, Tiongkok, dan Iran untuk mencegah penyebaran penyakit di antara populasi penjara.
Laporan tersebut mencatat bahwa saat keadaan darurat kesehatan berlanjut, bukti menunjukkan bahwa sistem kontrol diperkuat.
Di Iran, misalnya, yang dilaporkan menunjukkan pelonggaran dalam pembatasan praktik agama sejak awal pandemi, tetapi kemudian “menerapkan kembali sistem pengawasan dan penangkapan orang Kristen.”
Laporan tersebut mengatakan “tiga faktor kunci” menyebabkan situasi memburuk bagi umat Kristen: Penutupan pengadilan, layanan keagamaan online, dan kesempatan untuk mengintensifkan penganiayaan.
Pandemi menyebabkan penutupan sebagian atau seluruh pengadilan, sehingga terjadi penundaan persidangan kasus-kasus orang Kristen yang kasusnya banding.
Layanan gereja online juga memberi pemerintah kesempatan untuk meningkatkan pengawasan dan tindakan keras terhadap mereka yang ditemukan berpartisipasi dalam kegiatan yang diduga ilegal.

Lembaga pemerhati persekusi orang Kristen ChinaAid telah melaporkan bukti peningkatan penganiayaan menargetkan umat Kristen sebagai akibat dari pengawasan terkait pandemi, termasuk penggerebekan sebuah layanan keagamaan di provinsi Fujian di Tiongkok pada bulan Mei.
Laporan itu mengatakan Tiongkok juga dikutip sebagai contoh dari “faktor ketiga,” yaitu, “krisis telah memberi para penganiaya kesempatan untuk menyerang sementara yang lain tidak mendukung.”
Di Tiongkok, keadaan darurat virus corona menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk mengejar kelompok-kelompok gereja yang menolak bekerja sama dengan kampanye “sinisisasi”.
Laporan tersebut juga mencatat bahwa di seluruh dunia, “kelompok militan … termasuk ekstremis dari tradisi agama lain, menargetkan agama minoritas dengan tingkat mengkhawatirkan.”
“Ada tren yang mengganggu dari para aktor negara yang secara tidak adil menahan anggota agama minoritas,” bunyi laporan ACN.
Dikatakan bahwa rata-rata 309 orang Kristen “dipenjara secara tidak adil” setiap bulan di 50 negara dengan pelanggaran paling parah, dan lebih dari 1.000 diculik.
Laporan itu mengatakan orang Kristen menghadapi penculikan oleh militan di Nigeria, dengan lebih dari 220 tawanan Kristen per tahun.
Ada juga lonjakan dalam penculikan para pastor dan religius, tambah laporan itu.

Di negara-negara seperti Pakistan dan Mesir, wanita Kristen diculik dan menjadi sasaran konversi paksa dan kawin paksa.
Di satu provinsi di Pakistan saja ada 1.000 kasus kawin paksa perempuan Kristen dan Hindu pada 2018.
Korea Utara juga dikenal sebagai salah satu penganiaya terburuk umat Kristen, dengan lebih dari 50.000 orang Kristen dipenjara di kamp kerja paksa yang kejam.
Laporan itu juga menyoroti kasus individu orang Kristen, seperti kasus Asia Bibi yang menghadapi hukuman mati di Pakistan karena tuduhan penistaan agama palsu, dan Patriark Antonios dari Eritrea, berada dalam tahanan rumah sejak 2007.
Lembaga Aid to the Church in Need International adalah sebuah yayasan bantuan kepausan dengan cabang di 23 negara.