Kardinal Charles Maung Bo menyerukan perdamaian dan keadilan di awal pekan ini setelah pasukan keamanan Myanmar menindak para pengkritik junta militer negara itu.
Sedikitnya 30 orang muda di Yangon ditangkap pada Selasa (24/8) saat pihak berwenang melakukan serangkaian penggerebekan sebagai tanggapan terhadap laporan bahwa gerilyawan hendak menggulingkan junta.
Pertempuran berlanjut antara militer dan pemberontak di provinsi-provinsi saat tentara memasuki kota-kota dan desa-desa dan menangkap mantan anggota dan pendukung partai Liga Nasional untuk Demokrasi.
Kardinal Bo dalam homilinya pada hari Minggu (22/8) mengatakan “pemerintah yang tidak memperoleh legitimasi dari rakyat tidak mendapatkan legitimasi dari Tuhan.”
“Di negara mana pun yang adil, pemerintah tidak berada di atas rakyat. Ibarat mata, pemerintah adalah mata sebelah dan rakyat adalah mata sebelahnya. Jadi dua mata mampu membuat visi,” kata prelatus itu.
Kardinal Bo menyayangkan situasi di negaranya di mana “kepentingan segelintir orang yang egois, yang mencari roti yang dapat binasa” berkuasa.
Ia mengatakan bahwa mereka yang berkuasa telah mengkhianati cita-cita keadilan dan perdamaian dan terjebak dalam kekuasaan, harta benda, kekayaan ekstrem yang menciptakan ketidakadilan ekonomi dan ketidakadilan lingkungan.
Di tengah situasi sulit ini, kardinal mendesak orang-orang Myanmar untuk tidak kehilangan rasa kemanusiaan mereka, tetapi agar melalui semua cobaan yang dihadapi mampu membedakan apa yang ideal dan apa yang lebih merupakan berhala.
“Ziarah kita menuju penghormatan terhadap martabat manusia adalah perjalanan panjang yang hanya dapat dipertahankan melalui sabda kehidupan kekal,” kata Kardinal Bo.

Sebuah laporan Radio Free Asia mengatakan bahwa puluhan orang, kebanyakan anak muda, ditangkap di Yangon minggu ini.
“Yang kami dengar adalah bahwa mereka mendapat informasi dari salah satu yang ditangkap berdasarkan aplikasi online yang digunakan anak muda untuk berkomunikasi satu sama lain. Dari aplikasi itu, mereka mengetahui koneksi dan melakukan penangkapan,” kata seorang sumber seperti dikutip RFA.
Laporan itu mengatakan pihak berwenang tampaknya mengintensifkan tindakan keras terhadap kegiatan anti-junta yang dimulai segera setelah perebutan kekuasaan oleh militer pada 1 Februari.
Selama hampir tujuh bulan sejak kudeta, pasukan keamanan telah membunuh 1.014 warga sipil dan menangkap sedikitnya 5.851, menurut Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik yang berbasis di Bangkok.
Junta membenarkan kudeta itu dengan dalih bahwa Liga Nasional untuk Demokrasi yang berkuasa merekayasa kemenangan telak dalam pemilihan tahun lalu dengan kecurangan.