Kelompok-kelompok peduli lingkungan di Filipina menyambut gembira pengesahan undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang menghapus secara bertahap dan melarang produk plastik sekali pakai di negara itu.
Legislator negara itu menyetujui UU Pengaturan Plastik Sekali Pakai pada 28 Juli dengan 190 suara setuju, tidak setuju nol, dan satu abstain.
Pastor Antonio Labiao, ketua penyelenggara Program Laudato Si Nasional Gereja Katolik Filipina, menggambarkan langkah itu sebagai ‘selangkah lebih dekat untuk mewujudkan penanggulangan sampah plastik yang lebih baik.’
“Kami berharap langkah legislasi ini tetap menjadi prioritas hingga penegakannya,” kata imam yang juga sekretaris eksekutif Caritas Filipina itu.
Pastor Labiao meminta warga Filipina untuk mengikuti inisiatif dari berbagai lembaga pemerintah daerah, organisasi masyarakat, dan komunitas gereja “yang telah mengubah sampah plastik mereka menjadi sesuatu yang bermanfaat.”
Di bawah tindakan yang diusulkan, produk plastik sekali pakai yang tidak dapat dikomposkan “akan dihapus secara bertahap dalam waktu empat tahun” sejak peraturan tersebut mulai berlaku.
Produk plastik meliputi plastik oxo-degradable, bungkus film, kemasan, atau kantong dengan ketebalan kurang dari 50 mikron, plastik saset, dan kantong yang berlapis-lapis dengan bahan lain, wadah makanan dan minuman yang terbuat dari polistiren.
Produk plastik lainnya, seperti sedotan, pengaduk, stik untuk permen, konfeti, dan kemasan dengan ketebalan kurang dari 10 mikron akan dihapus dalam waktu satu tahun sejak pemberlakuan hukum tersebut.
“Sedotan plastik sekali pakai yang dikhususkan bagi orang-orang dengan kondisi medis tertentu akan diizinkan, jika tidak ada alternatif yang dapat digunakan kembali atau kompos yang sesuai,” bunyi undang-undang tersebut.
Secara global, setidaknya 127 negara telah mengesahkan undang-undang untuk mengatur produksi, penggunaan, dan pembuangan produk plastik.

Di Filipina, hampir 500 pemerintah daerah telah mengadopsi peraturan yang bertujuan untuk mengatasi masalah produk plastik sekali pakai.
Marian Ledesma dari Greenpeace memuji langkah tersebut, dan mengatakan bahwa langkah tersebut “tepat waktu untuk menghilangkan barang-barang plastik sekali pakai yang tidak perlu.”
Ia mengatakan langkah tersebut dapat membantu “mengurangi dampak dan ketidakadilan yang berasal dari seluruh siklus hidup plastik.”
“Ini juga mengirimkan pesan yang kuat kepada produsen plastik bahwa mereka memiliki tanggung jawab untuk mengurangi kontribusi mereka terhadap masalah plastik dan transisi ke sistem pengiriman alternatif,” kata Ledesma.
Ladesma juga mendesak Senat agar “menanggapinya dengan undang-undang yang lebih kuat untuk meningkatkan dan menyelesaikan ketentuan dan praktik yang bermasalah dalam hukum” yang telah disetujui majelis rendah.
Ledesma mengatakan negara itu harus memastikan bahwa tidak ada pembakaran atau penggantian limbah yang termasuk dalam undang-undang yang diusulkan.aaaaaa
Lembaga Hukum Lingkungan Internasional memperkirakan bahwa produksi dan pembakaran plastik akan menghasilkan lebih dari 850 juta metrik ton emisi gas rumah kaca.
Undang-undang yang diusulkan juga berusaha untuk melembagakan program “Tanggung Jawab Produsen yang Luas” yang mendesak produsen dan manufaktur bertanggung jawab untuk mengumpulkan dan mendaur ulang plastik.
Dalam sebuah pernyataan, kelompok Living Laudato Si Philippines mengatakan pemerintah harus “memberikan lebih banyak tekanan pada produsen, importir, dan perusahaan komersial untuk memberi konsumen pilihan akan kemasan, wadah, dan produk lainnya yang ramah lingkungan.”
Dalam surat pastoral tentang ekologi yang dikeluarkan pada tahun 2019, Konferensi Waligereja Filipina mendesak masyarakat untuk membantu mengatasi dampak krisis iklim dengan melakukan tindakan ekologis termasuk “menghilangkan plastik sekali pakai, polistiren dan sejenisnya, dari rumah kita dan institusi-institusi.”