Para imam dan biarawati Katolik berpartisipasi dalam aski di jalan Myanmar menyusul penembakan terhadap pengunjuk rasa oleh polisi dan militer di luar sebuah gereja Katolik pada 8 Maret.
“Kehadiran kami sebagai orang beriman, pembawa damai, semoga dapat membantu [militer] menghentikan serangan. Inilah mengapa kami berada di jalan,” demikian bunyi pernyataan yang dikeluarkan oleh sekelompok biarawati di Myitkyina, ibu kota Negara Bagian Kachin, Myanmar.
“Kami memohon untuk tidak membunuh. Inilah alsan kami beralih ke militer. Kami khawatir petugas polisi akan membunuh lebih banyak lagi demonstran muda,” kata mereka dalam pernyataan pada 9 Maret.
Uskup Francis Daw Tang, pensiunan uskup Keuskupan Myitkyina, juga meminta massa, termasuk militer, untuk mengakhiri kekerasan dan bekerja untuk dialog.
Kekerasan pecah di Myitkyina ketika tentara dan polisi menembak ke arah pengunjuk rasa yang sedang berkumpul untuk demonstrasi.
Sedikitnya dua pengunjuk rasa dilaporkan tewas dan beberapa lainnya luka-luka.
“Saya ingin mendorong dan meminta semua orang, termasuk militer… Kita perlu bekerja sama sebagai satu keluarga tanpa menyalahkan siapa pun. Kita perlu melakukan dialog bukan dengan paksaan,” kata Uskup Tang dalam pernyataan terpisah pada 9 Maret.

Prelatus itu mengatakan dialog adalah satu-satunya cara untuk menyelesaikan krisis yang dimulai setelah militer mengambil alih pemerintahan pada 1 Februari dan sejak saat itu warga melancarkan protes di mana-mana.
“Dialog dan negosiasi bisa membawa perdamaian dan keadilan sejati. Jika kita menggunakan cara kekerasan, konflik tidak akan ada habisnya,” kata uskup itu.
“Saya tahu ini karena saya lahir di negara ini. Sejak masa kecil saya, saya telah mengalami pertempuran tanpa akhir, di mana warga menderita dan tewas,” tambahnya.
“Saya tidak ingin melihat rasa sakit dan penderitaan seperti itu lagi,” tambah Uskup Tang.
Pada 9 Maret, ratusan orang berkumpul dalam keheningan di depan Gereja Katolik St. Columban di kota itu untuk berdoa bagi para korban penembakan tersebut.
“Saya sudah pensiun, tapi kasih tidak pernah pensiun. Di saat yang sulit bagi negara kita ini, kita sebagai orang Kristen dipanggil untuk memberikan kontribusi pada perdamaian, belas kasihan, pengampunan,” kata Uskup Tang kepada peserta.
Suster Ann Rose Nu Tawng, biarawati yang fotonya viral saat berusaha mencegah penembakan oleh polisi, juga mengimbau agar kekerasan dihentikan.
“Kita mewartakan dan menjadi saksi tanpa kekerasan. Misi kita adalah untuk mengumumkan dan menghidupi kasih Kristus sepenuhnya, bahkan kepada musuh,” katanya.

Myanmar jatuh ke dalam krisis sejak tentara menggulingkan pemerintah terpilih yang dipimpin Aung San Suu Kyi dalam kudeta 1 Februari. Militer menahannya dan pejabat partai Liga Nasional untuk Demokrasi dan membentuk junta militer yang berkuasa.
Militer melaporkan kecurangan dalam pemilihan pada November lalu. Namun KPU Myanmar mengatakan pemungutan suara itu adil.
Lebih dari 60 orang telah tewas dan sekitar 1.800 orang ditahan dalam tindakan kejam militer terhadap massa yang memprotes kudeta di negara Asia Tenggara itu, kata sebuah kelompok advokasi. Puluhan jurnalis termasuk di antara mereka yang ditangkap.
PBB gagal mencapai konsensus atas Myanmar
Dewan Keamanan PBB pada 9 Maret tidak berhasil untuk menyetujui pernyataan yang mengutuk kudeta tersebut.
Sebaliknya, lembaga dunia itu menyerukan agar militer menahan diri dan mengancam akan mengambil “tindakan lebih lanjut,” meskipun para diplomat mengatakan pembicaraan kemungkinan akan berlanjut.
Dalam upaya awal untuk menyelesaikan teks tersebut, Tiongkok, Rusia, India, dan Vietnam semuanya menyarankan perubahan pada 9 Maret atas draf oleh Inggris, namun para diplomat mengatakan, termasuk penghapusan penyebutan kudeta dan ancaman untuk mempertimbangkan tindakan lebih lanjut.

Pernyataan seperti itu disepakati oleh 15 anggota badan melalui konsensus.
Dewan Keamanan mengeluarkan pernyataan kepada pers bulan lalu yang menyuarakan keprihatinan atas keadaan darurat yang diberlakukan oleh militer Myanmar dan menyerukan pembebasan semua yang ditahan, tetapi tidak mengutuk kudeta karena mendapat oposisi dari Rusia dan Tiongkok.
Draf pernyataan Dewan Keamanan yang dilihat Reuters pada 9 Maret menyerukan “agar militer menahan diri sepenuhnya, menekankan bahwa lembaga itu mengikuti situasi dengan cermat, dan menyatakan kesiapannya untuk mempertimbangkan kemungkinan tindakan lebih lanjut.”
Seorang penyelidik independen PBB di Myanmar dan Human Rights Watch yang berbasis di New York telah meminta Dewan Keamanan untuk memberlakukan embargo senjata global dan sanksi ekonomi yang ditargetkan pada junta.
Tetapi untuk menjaga persatuan dewan di Myanmar, para diplomat mengatakan sanksi tidak mungkin dipertimbangkan dalam waktu dekat, karena tindakan seperti itu mungkin akan ditentang oleh Tiongkok dan Rusia, yang memiliki hak veto di PBB sama seperti Amerika Serikat, Prancis dan Inggris.
Tambahan dari Reuters