Paus Fransiskus mendesak agar kekerasan yang dilakukan terhadap pengunjuk rasa anti-kudeta di Myanmar segera diakhiri menyusul laporan bahwa pasukan keamanan telah membunuh hampir 40 orang pada 3 Maret.
Permohonan itu disampaikan paus pada hari yang sama ketika 38 orang – menurut PBB – tewas di Myanmar ketika militer mencoba membubarkan protes di beberapa kota.
Ini adalah adalah hari paling kejam sejak demonstrasi menentang kudeta militer pertama kali meletus bulan lalu. Total yang terbunuh sejak kudeta sudah mencapai lebih dari 50 orang.
“Berita duka tentang bentrokan berdarah dan korban jiwa terus muncul dari Myanmar,” kata Paus Fransiskus dalam audiensi umum di Perpustakaan Istana Apostolik.
“Saya ingin meminta perhatian dari pihak berwenang yang terlibat bahwa dialog selalu menang atas penindasan dan harmoni atas perselisihan,” kata paus.
“Saya juga menghimbau kepada masyarakat internasional agar tidak membiarkan aspirasi masyarakat Myanmar tertahan oleh kekerasan,” ujarnya.
“Semoga kaum muda di negeri tercinta itu diberikan harapan masa depan di mana kebencian dan ketidakadilan membuka jalan untuk perjumpaan dan rekonsiliasi,” katanya.

Akhirnya, saya mengulangi keinginan yang saya ungkapkan sebulan lalu, bahwa jalan menuju demokrasi yang telah diambil dalam beberapa tahun terakhir oleh Myanmar dapat dilanjutkan melalui langkah nyata yaitu pembebasan berbagai pemimpin politik yang dipenjara,” tambah paus.
Pertumpahan darah terbaru di Myanmar terjadi sehari setelah negara-negara tetangga menyerukan untuk menahan diri setelah militer menggulingkan pemerintahan terpilih Aung San Suu Kyi.
Para saksi atas kekerasan itu mengatakan bahwa pasukan keamanan melepaskan tembakan tanpa ada peringatan.
Korban tewas termasuk empat anak-anak, kata sebuah badan bantuan. Media lokal melaporkan bahwa atusan pengunjuk rasa ditangkap.
Di kota utama Yangon, saksi mata mengatakan sedikitnya delapan orang tewas, tujuh di antaranya ketika pasukan keamanan melepaskan tembakan secara membabibuta di sebuah lingkungan di utara kota itu pada sore hari.
Kardinal Maung Bo, uskup agung Yangon dan presiden Federasi Konferensi Waligereja Asia, mengatakan dalam sebuah tweet bahwa Myanmar tidak akan pernah sama lagi.
“Hari ini, sebagian besar kota besar di negara ini sudah seperti Lapangan Tiananmen,” kata Kardinal Bo di Twitter menyinggung pembantaian mahasiswa pro-demokrasi dan pendukung mereka di Tiongkok pada tahun 1989.
Para imam dan biarawati Katolik turut bergabung dalam aksi protes jalanan mengutuk kudeta militer 1 Februari dan menyerukan kembalinya demokrasi.
Militer membenarkan alasan kudeta itu yakni tidak dihiraukannya keluhan tentang kecurangan dalam pemungutan suara pada pemilu 8 November. Partai Suu Kyi menang telak, sehingga mendapatkan masa jabatan kedua. Komisi pemilihan umum negara mengatakan pemungutan suara itu adil.

Tambahan dari Reuters