Jumlah pastor dan biarawati Katolik yang bergabung dalam aksi jalanan di Myanmar untuk mengutuk kudeta militer dan menyerukan kembali ke demokrasi terus bertambah.
Di Keuskupan Pathein, sejumlah pastor, suster, dan para frater terlihat membawa plakat untuk menunjukkan dukungan kepada para pengunjuk rasa.
“Kami bersama rakyat Myanmar dalam penderitaan mereka. Kami ingin negara kami mendapatkan demokrasi yang murni,” kata Pastor Vicent Myo Min Soe.
“Kami ingin menunjukkan kepada pemerintah militer bahwa kami tidak terima kudeta militer ini,” katanya dan menambahkan bahwa ia bergabung dalam protes demi keadilan.
Seorang seminaris yang memperkenalkan dirinya sebagai Diakon Gabriel mengatakan bahwa dia bergabung untuk mengungkapkan dan menyuarakan keinginannya.
“Dengan niat untuk keadilan sejati, saya mendukung rakyat,” katanya.
“Kami tidak bisa hidup di bawah kekuasaan militer lagi,” kata Suster Daniella, seorang biarawati Katolik. “Kami sudah hidup di bawah kekuasaan militer selama lebih dari 70 tahun,” katanya.

“Kami bersama rakyat hari ini,” kata Pastor Columba Tun Lin. “Untuk negara kami dan masa depan kami, kami akan berdiri bersama dengan rakyat,” katanya.
Sebelumnya, para pemimpin militer Myanmar mencoba berbicara dengan para pemimpin agama yang dilihat sebagai “tebar pesona” dalam bentuk mendistribusikan barang bantuan COVID-19.
Beberapa laporan menyebutkan bahwa beberapa jenderal bertemu dengan Kardinal Charles Bo dari Yangon dan Uskup John Saw Yaw Han untuk menyumbangkan barang bantuan COVID-19.
Sumber dari keuskupan Mandalay dan Myitkyina mengatakan kepada LiCAS.news bahwa beberapa pejabat militer telah mengunjungi gereja, membawa tas beras dan obat-obatan.
Jumlah penduduk negara mayoritas Buddha itu mencapai 53 juta orang, termasuk kurang dari 800.000 umat Katolik.
Dalam pidato tahunan pada 8 Februari, Paus Fransiskus mendesak para pemimpin kudeta militer Myanmar untuk membebaskan tahanan politik dan kembali ke jalur demokrasi.
Pada 11 Februari, ribuan etnis Karen yang mayoritas Kristen memperingati Hari Nasional mereka di Yangon dan di tempat lain dengan protes massal menentang kudeta.
Aksi protes berlangsung meriah di berbagai tempat lain, di mana binaragawan bertelanjang dada, wanita dengan gaun pesta dan gaun pengantin, petani dengan traktor dan warga lain dengan hewan peliharaan mereka.
Ribuan orang turut serta dalam demonstrasi di kota utama Yangon, sementara di ibu kota, Naypyitaw, ratusan pegawai pemerintahan berbaris untuk mendukung kampanye pembangkangan sipil yang sedang terjadi.
Mengenakan seragam, para polisi di Negara Bagian Kayah berbaris dengan tanda yang bertuliskan “Kami tidak ingin kediktatoran,” menurut gambar yang dipublikasikan di media.
Aksi-aksi protes baru-baru ini adalah yang terbesar di Myanmar dalam lebih dari satu dekade, menghidupkan kembali ingatan hampir setengah abad pemerintahan langsung militer dan gelombang pemberontakan berdarah hingga militer mulai melepaskan sebagian kekuasaan pada tahun 2011.
Militer memberlakukan pembatasan pertemuan dan jam malam di kota-kota terbesar, membenarkan perebutan kekuasan tersebut atas dengan klaim penipuan dalam pemilihan pada 8 November. Komisi pemilihan menolak klaim tentara.
Tambahan dari Reuters